“Jika akhirnya Lady Gaga gagal manggung di Jakarta, sebenarnya justru
kitalah yang kehilangan kesempatan menyaksikan salah satu aksi panggung
hebat,” demikian kira-kira tulis Wendy Putranto salah seorang petinggi
majalah Rolling Stone Indonesia di akun twitternya saat kontroversi Lady
Gaga baru mulai ramai di tanah air. Kelompok muslim di Indonesia secara
terang-terangan melarang sekaligus mengancam siap melakukan aksi
kekerasan, para orang tua jadi ingin tahu seperti apa sih Lady Gaga itu.
Media pun juga dengan penuh semangat memberi panggung bagi para
ekstrimis muslim yang kemudian bagai penyanyi sumbang dikasi mic. Bagai
bapak-bapak pejabat buncit ditarik joget oleh penari jaipongan. Mereka
tak hanya sibuk berputar pada hal tanpa dasar, tapi juga menegaskan
bahwa ternyata pakaian, tanda hitam di jidat sama sekali tidak
berbanding lurus dengan kearifan, kecerdasan sekaligus kepandaian.
Saya sama sekali bukan penggemar Lady Gaga, bagi saya artis bernama
asli Stefani Joanne Angelina Germanotta yang 5 tahun lalu masih
joget-joget gak jelas di panggung Loolapalozza hanyalah penghibur dengan
kemampuan bernyanyi biasa saja. Bagi saya, ia adalah pengadaptasi
sempurna dari Madonna yang sejak kanak-kanak terus saya tunggu
kehadirannya di tanah air. Gaga jadi menarik untuk saya, karena ia
mengemas dirinya dengan luar biasa. Wajahnya yang pas-pasan dan
posturnya yang tidak menarik-menarik amat itu tetap mampu ia kemas
sedemikian rupa agar bisa tetap menjadi dagangan nomer satunya.
Maka
saat manajemen si artis memutuskan untuk membatalkan saja konser mereka
di Jakarta, dengan serta merta saya memburu sang artis ke negeri
tetangga. Saya rasa, hal yang sama akan saya lakukan jika Madonna
manggung di Tokyo sekalipun saat ini (dulu dia pernah manggung di
Hongkong, tapi 14 tahun lalu mana lah saya punya duit buat kesana).
Musik pop macam Gaga bukanlah penghias utama audio di mobil saya, tapi
bagi saya seni panggung modern tak hanya soal bunyi, ia juga soal
bagaimana kemampuan memanjakan mata sekaligus menciptakan imaji di benak
pemirsanya.
Inilah kesan saya saat menyaksikan Lady Gaga di Singapura malam tadi.
Jelas saya terpukau, teknik bernyanyinya biasa saja….beda-beda tipis
dengan Soimah yang beken itu, menarinya jauh sekali di bawah aksi gerak
Linda Hoemar, namun siapa peduli dengan itu? Bahkan saya yang
memperhatikan dengan seksama pun menjadi tak lagi peduli karena di saat
bersamaan Lady Gaga memberi saya pemandangan panggung yang dahsyat
berbentuk sebuah kastil mini. Para penari latarnya dengan sempurna terus
mengalihkan perhatian para penonton (termasuk saya) untuk terus melihat
bagaimana mereka bergerak cepat, lincah, penuh tenaga dan determinasi
sembari “melupakan” si pelaku utama malam tadi yang sebenarnya tidaklah
selincah para penari.
Sesekali
Gaga juga tergaga-gaga menjaga staminanya, nafasnya berulang kali
terdengar ngos-ngosan yang lagi-lagi mampu ditutupi dengan kemampuannya
menguasai panggung dan penontonnya. Lady Gaga adalah seorang pelaku
panggung sejati, ia mampu berkomunikasi, berganti pakaian di setiap 2
lagu, bercerita tentang masa kecilnya tanpa kami para penontonnya sadar
bahwa ia tengah mengulur waktu. Apalagi dengan koleksi album yang baru 1
serta beberapa single, praktis Gaga memang tidak memiliki banyak
amunisi untuk dinyanyikan selain memang aksi panggung luar biasa serta
kemasan yang membius di atas panggung itu.
Saya jadi tak mampu membayangkan apa yang ada di kepala orang-orang
yang telah mengancam konser Lady Gaga di Jakarta. Tanpa perlu diancam
saja, artis kelahiran New York ini praktis 70% tampil dengan pakaian
tertutup. Ia memang berkata tentang kebebasan, tapi tak lebih dari paham
bahwa hidup adalah sebuah kesempatan untuk bebas berekspresi dan “Tuhan
tak pernah melakukan kesalahan, itulah sebabnya we’re Born This Way,”
Orang-orang
yang katanya sungguh beriman sehingga merasa bertanggung jawab pada
iman orang-orang lain ini bagi saya bukan hanya tak paham apa itu musik
pop modern. Mereka juga tak paham apa itu humas dan kemasan dagang.
Seolah Lady Gaga seorang yang menyebut dirinya monster (Marco Van Basten
juga pernah disebut sebagai “Monster Kotak Penalti”) padahal Marilyn
Manson malah menyebut telah menyerahkan satu matanya pada setan, juga
Bad Religion yang pernah manggung di Jakarta dengan aman padahal tema
konsernya sungguh tidak Islami yaitu “No God, No Beliefs World Tour!”
Para
lelaki dengan sorban di badan dan golok di tangan ini seperti ingin
menegaskan bahwa peradaban Indonesia memang telah mundur sampai 700
tahun. Saat ketika bangsa Eropa membakar hidup-hidup orang-orang yang
dianggap sesat, bangsa kita melakukannya dengan leluasa di era
sekarang…..entah di rumah ibadah orang lain, di depan rumah tak seiman
sampai kini menyentuh medium kesenian. Sembari lupa bahwa korupsi dan
pencurian terus terjadi di depan mata.
Mungkin
memang demikianlah yang terjadi di negeri saya, ketika bangsa lain
tengah membahas bagaimana cara migrasi ke planet lain atau mencari
sumber kehidupan di tempat lain, kita masih saja berkutat di urusan
moral, kecerdasan bangsa sampai ke hantu gentayangan di sumur belakang.
Atau mungkin memang hantu, kecerdasan dan moral memang isu utama yang
masih terus beredar di kehidupan bangsa kita?
Sumber
2 komentar:
sip gun,d negri ini juga masih banyak artis2 yang seronok tampil di depan publik dengan tanpa malu2.
Bahkan sudah menjadi konsumsi masyarakat semua kalangan dan semua usia.
Lihatah dari dekat dulu,jangan bertindak arogansi dengan mengatasnamakan Pembela Agama.
hee betul itu mass
Posting Komentar
Like this yoo